Ki Hadjar Dewantara
Ki Hadjar Dewantara masa kecilnya bernama R.M.
Soewardi Surjaningrat, lahir pada hari Kamis Legi, tanggal 02 Puasa tahun Jawa,
bertepatan dengan tanggal 2 Mei 1889 M. Ayahnya bernama G.P.H. Surjaningrat
putra Kanjeng Hadipati Harjo Surjo Sasraningrat yang bergelar Sri Paku Alam
ke-III. Ibunya adalah seorang putri keraton Yogyakarta yang lebih dikenal
sebagai pewaris Kadilangu keturunan langsung Sunan Kalijogo (Darsiti Suratman,
1985: 2). .
Ki Hadjar Dewantara pertama kali masuk Europeesche
Lagere School. Setelah tamat dari Europeesche Lagere School, Ki Hadjar
melanjutkan pelajarannya ke STOVIA, singkatan dari School Tot Opleiding Van
Indische Arsten. Ki Hadjar tidak menamatkan pelajaran di STOVIA. Ki Hajar
juga mengikuti pendidikan sekolah guru yang disebut Lagere Onderwijs, hingga
berhasil mendapatkan ijasah (Irna H.N., Hadi Soewito, 1985: 16).
Bersama dengan Tjipto Mangunkusumo pada permulaan Juli
1913 membentuk “Committee tot Herdenking van Nederlandsch Honderdjarige
Vrijheid” (panitia peringatan 100 tahun kemerdekaan Nederland) yang dalam
bahasa Indonesia disingkat “Komisi Bumi Putra”. Panitia bermaksud akan
mengeluarkan isi hati rakyat, memprotes adanya perayaan kemerdekaan Belanda
karena rakyat Indonesia dipaksa secara halus harus memungut uang sampai ke
pelosok-pelosok.
Akibat terlalu banyak protes dalam artikel dan tulisan
di brosur ketiga pemimpin Indische Party (tiga serangkai) ditangkap dan
ditahan. Dalam waktu yang amat singkat, pada 18 Agustus 1913 keluarlah surat
dari wali negara untuk ketiga pemimpin tersebut. Ketiganya dikenakan hukuman
buang; Soewardi ke Bangka, Tjipto Mangunkusumo ke Banda Neira, dan Douwes
Dekker ke Timur Kupang. Keputusan itu disertai ketetapan bahwa mereka bebas
untuk berangkat keluar jajahan Belanda. Ketiganya ingin mengganti hukuman
interniran dengan hukuman externir, dan memilih negeri Belanda sebagai tempat
pengasingan mereka.
Ketika
di negeri Belanda perhatian Soewardi Soejaningrat tertarik pada masalah-masalah
pendidikan dan pengajaran di samping bidang sosial politik. Ia menambah
pengetahuannya dalam bidang pendidikan dan pada tahun 1915 memperoleh akte
guru. Tokoh-tokoh besar dalam bidang pendidikan mulai dikenalnya, antara lain;
J.J. Rousseau, Dr. Frobel, Dr. Montessori, Rabindranath Tagore, John Dewey, dan
Kerschensteiner. Frobel ahli pendidikan terkenal dari Jerman pendiri “Kindergarten”.
Montessori sarjana wanita dari Italia pendiri “Casa dei Bambini”.
Rabindranath Tagore, pujangga terkenal dari India, pendiri perguruan “Santi
Niketan”.
Pengalaman Ki
Hadjar Dewantara dan kawan-kawannya di lapangan perjuangan politik, dengan
melalui berbagai rintangan, penjara dan pembuangan dengan segala hasilnya,
menimbulkan pikiran baru untuk meninjau cara-cara dan jalan untuk menuju
kemerdekaan Indonesia (Muchammad Tauchid, 1963: 29). Ki Hadjar Dewantara yang
terus berjuang tak kenal lelah tersebut dalam menghadapi berbagai masalah,
ternyata dia menaruh perhatian terhadap pendidikan karakter bangsa.
Pendidikan Karakter:
Mengapa baru sekarang?
Pendidikan
karakter adalah upaya yang terencana untuk menjadikan peserta didik
mengenal, peduli dan menginternalisasi nilai-nilai sehingga peserta
didik berperilaku sebagai insan kamil, dimana tujuan pendidikan karakter adalah
meningkatkan mutu penyelenggaraan dan hasil pendidikan di sekolah melalui
pembentukan karakter peserta didik secara utuh, terpadu, dan seimbang, sesuai
standar kompetensi lulusan. Adapun nilai-nilai yang perlu dihayati dan
diamalkan oleh guru saat mengajarkan mata pelajaran di sekolah adalah: religius,
jujur, toleran, disiplin, kerja keras, kerja cerdas, kreatif, mandiri,
demokratis, rasa ingin tahu, semangat kebangsaan, cinta tanah air, menghargai
prestasi, bersahabat/komunikatif, cinta damai, senang membaca, peduli sosial,
peduli lingkungan, dan tanggung jawab.
Penanaman
nilai-nilai karakter juga dapat dilakukan melalui ekstra kurikuler. Penanaman
nilai-nilai karakter melalui kegiatan ekstra kurikuler meliputi: pembiasaan
akhlak mulia, kegiatan Masa Orientasi Sekolah (MOS), kegiatan Organisasi Siswa
Intra Sekolah (OSIS), tata krama dan tata tertib kehidupan sosial sekolah,
kepramukaan, upacara bendera, pendidikan pendahuluan bela negara, pendidikan
berwawasan kebangsaan, UKS, PMR, serta pencegahan penyalahgunaaan narkoba.
Kata
karakter berasal dari bahasa inggris character, artinya watak. Kata ini
menjadi semakin populer setelah Mendiknas RI mencanangkan pendidikan berbasis
karakter pada saat peringatan Hari Pendidikan Nasional pada tahun 2010. Mengapa
pendidikan karakter baru dicanangkan sekarang?
Ki
Hadjar Dewantara telah jauh berpikir dalam masalah pendidikan karakter.
Mengasah kecerdasan budi sungguh baik, karena dapat membangun budipekerti yang
baik dan kokoh, hingga dapat mewujudkan kepribadian (persoonlijkhheid)
dan karakter (jiwa yang berasas hukum kebatinan). Jika itu terjadi orang
akan senantiasa dapat mengalahkan nafsu dan tabiat-tabiatnya yang asli (bengis,
murka, pemarah, kikir, keras, dan lain-lain) (Ki Hadjar Dewantara dalam Majelis
Luhur Persatuan Tamansiswa: 1977: 24).
Selanjutnya Ki
Hadjar Dewantara mengatakan, yang dinamakan “budipekerti” atau watak atau dalam
bahasa asing disebut “karakter” yaitu “bulatnya jiwa manusia” sebagai
jiwa yang “berasas hukum kebatinan”. Orang yang memiliki kecerdasan
budipekerti itu senantiasa memikir-mikirkan dan merasa-rasakan serta
selalu memakai ukuran, timbangan, dan dasar-dasar yang pasti dan
tetap. Itulah sebabnya orang dapat kita kenal wataknya dengan pasti;
yaitu karena watak atau budipekerti itu memang bersifat tetap dan pasti.
Budipekerti,
watak, atau karakter, bermakna bersatunya gerak pikiran, perasaan,
dan kehendak atau kemauan, yang menimbulkan tenaga. Ketahuilah bahwa “budi”
itu berarti pikiran – perasaan – kemauan, sedang “pekerti” itu artinya “tenaga”.
Jadi “budipekerti” itu sifatnya jiwa manusia, mulai angan-angan hingga
terjelma sebagai tenaga. Dengan “budipekerti” itu tiap-tiap manusia berdiri
sebagai manusia merdeka (berpribadi), yang dapat memerintah atau menguasai
diri sendiri (mandiri, zelfbeheersching). Inilah manusia yang beradab
dan itulah maksud dan tujuan pendidikan. Jadi teranglah di sini bahwa pendidikan
itu berkuasa untuk mengalahkan dasar-dasar dari jiwa manusia,
baik dalam arti melenyapkan dasar-dasar yang jahat dan memang dapat
dilenyapkan, maupun dalam arti “naturaliseeren” (menutupi, mengurangi)
tabiat-tabiat jahat yang “biologis” atau yang tak dapat lenyap sama sekali,
karena sudah.
Lebih
lanjut Ki Hadjar Dewantara mengatakan bahwa; Pendidikan ialah usaha kebudayaan
yang bermaksud memberi bimbingan dalam hidup tumbuhnya jiwa raga anak agar
dalam kodrat pribadinya serta pengaruh lingkunganannya, mereka memperoleh
kemajuan lahir batin menuju ke arah adab kemanusiaan (Ki Suratman, 1987: 12).
Sedang yang dimaksud adab kemanusiaan adalah tingkatan tertinggi yang dapat
dicapai oleh manusia yang berkembang selama hidupnya. Artinya dalam upaya
mencapai kepribadian seseorang atau karakter seseorang, maka adab kemanusiaan
adalah tingkat yang tertinggi.
Dari definisi
pendidikan tersebut terdapat dua kalimat kunci yaitu; „tumbuhnya jiwa raga anak‟
dan „ kemajuan anak lahir-batin‟. Dari dua kalimat kunci tersebut dapat
dimaknai bahwa manusia bereksistensi ragawi dan rokhani atau berwujud raga dan
jiwa. Adapun pengertian jiwa dalam budaya bangsa meliputi “ngerti,
ngrasa,lan nglakoni” (cipta, rasa, dan karsa). Kalau digunakan dalam
istilah psikologi, ada kesesuaiannya dengan aspek atau domain kognitif, domain
emosi, dan domain psikomotorik atau konatif.
Ki
Hadjar Dewantara lebih lanjut menegaskan bahwa pendidikan itu suatu tuntunan
dalam hidup tumbuhnya anak-anak. Ini berarti bahwa hidup tumbuhnya anak-anak
itu terletak di luar kecakapan atau kehendak para pendidik. Anak itu sebagai
makhluk, sebagai manusia, sebagai benda hidup teranglah hidup dan tumbuh
menurut kodratnya sendiri. Seperti yang termaktub di muka, maka apa yang
dikatakan kekuatan kodrati yang ada pada anak itu tidak lain ialah segala
kekuatan di dalam hidup batin dan hidup lahir dari anak-anak itu, yang ada
karena kekuatan kodrat. Kaum pendidik hanya dapat menuntun tumbuhnya atau hidupnya
kekuatan-kekuatan itu, agar dapat memperbaiki lakunya (bukan dasarnya) hidup
dan tumbuhnya itu.
Dari
konsepsi tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa Ki Hadjar Dewantara ingin; a)
menempatkan anak didik sebagai pusat pendidikan, b) memandang pendidikan sebagai
suatu proses yang dengan demikian bersifat dinamis, dan c) mengutamakan
keseimbangan antar cipta, rasa, dan karsa dalam diri anak.
Dengan demikian
pendidikan yang dimaksud oleh Ki Hadjar Dewantara memperhatikan keseimbangan
cipta, rasa, dan karsa tidak hanya sekedar proses alih ilmu pengetahuan saja
atau transfer of knowledge, tetapi sekaligus pendidikan juga sebagai proses
transformasi nilai (transformation of value). Dengan kata lain
pendidikan adalah proses pembetukan karakter manusia agar menjadi sebenar-benar
manusia.
Pandangan
Ki Hadjar Dewantara tentang pendidikan, menunjukkan kepada kita bahwa jauh hari
Ki Hadjar Dewantara memiliki komitmen yang tinggi untuk membentuk karakter
bangsa melalui pendidikan. Hanya sayangnya pada pekembangannya pendidikan
justru kehilangan roh dan semangatnya, sehingga terjebak pada pencapaian target
sempit, sehingga perwujudan karakter bangsa yang baik menjadi terabaikan.
Pendidikan
Karakter melalui Tri Pusat Pendidikan
Dalam
proses tumbuh kembangnya seorang anak, Ki Hadjar Dewantara memandang adanya
tiga pusat pendidikan yang memiliki peranan besar. Semua ini disebut “Tripusat
Pendidikan”. Tripusat Pendidikan mengakui adanya pusat-pusat pendidikan yaitu;
1) Pendidikan di lingkungan keluarga, 2) Pendidikan di lingkungan perguruan,
dan 3) Pendidikan di lingkungan kemasyarakatan atau alam pemuda. Tripusat
Pendidikan ini besar pengaruhnya terhadap pembentukan karakter seseorang.
Alam
keluarga adalah pusat pendidikan yang pertama dan terpenting. Sejak timbul adab
kemanusiaan hingga kini, hidup keluarga selalu mempengaruhi bertumbuhnya budi
pekerti atau karakter dari tiap-tiap manusia. Alam perguruan merupakan pusat
perguruan yang teristimewa berkewajiban mengusahakan kecerdasan pikiran
(perkembangan intelektual) beserta pemberian ilmu pengetahuan (balai-wiyata).
Alam kemasyarakatan atau alam pemuda merupakan kancah pemuda untuk beraktivitas
dan beraktualisasi diri mengembangkan potensi dirinya.
Ada
beberapa hal yang menarik dalam keterangan Ki Hadjar Dewantara tentang Tripusat
Pendidikan yaitu;
a.
Keinsyafan Ki Hadjar Dewantara bahwa tujuan pendidikan tidak mungkin tercapai
melalui satu jalur saja
b. Ketiga pusat
pendidikan itu harus berhubungan seakrab-akrabnya serta harmonis
c.
Bahwa alam keluarga tetap merupakan pusat pendidikan yang terpenting dan
memberikan pendidikan budi pekerti, agama, dan laku sosial
d.Bahwa
perguruan sebagai balai wiyata yang memberikan ilmu pengetahuan dan pendidikan
keterampilan
e. Bahwa alam pemuda (yang sekarang diperluas menjadi lingkungan/alam
kemasyarakatan) sebagai tempat sang anak berlatih membentuk watak atau karakter
dan kepribadiannya
f. Dasar pemikiran Ki Hadjar Dewantara ialah usaha untuk
menghidupkan, menambah dan memberikan perasaan kesosialan sang anak (Ki
Gunawan, 1989: 36).
Pandangan
yang demikian itu, membuat Ki Hadjar Dewantara tidak memandang perguruan atau
sekolah sebagai lembaga yang memiliki orientasi mutlak dalam proses pembentukan
karakter anak. Justru dia memandang pendidikan sebagai suatu proses yang
melibatkan unsur-unsur lain di luar sekolah. Tiap-tiap pusat harus mengetahui
kewajibannya masing-masing, atau kewajibannya sendiri-sendiri, dan mengakui hak
pusat-pusat lainnya yaitu; alam keluarga untuk mendidik budipekerti dan laku
sosial. Alam sekolah sebagai balai wiyata bertugas mencerdaskan cipta, rasa,
dan karsa secara seimbang. Sedangkan alam pemuda atau masyarakat untuk
melakukan penguasan diri dalam pembentukan watak atau karakter.
Ketiga
lingkungan pendidikan tersebut sangat erat kaitannya satu dengan lainnya,
sehingga tidak bisa dipisah-pisahkan, dan memerlukan kerjasama yang
sebaik-baiknya, untuk memperoleh hasil pendidikan maksimal seperti yang
dicita-citakan. Hubungan sekolah (perguruan) dengan rumah anak didik sangat
erat, sehingga berlangsungnya pendidikan terhadap anak selalu dapat diikuti
serta diamati, agar dapat berjalan sesuai dengan tujuan yang hendak dicapai.
Pamong sebagai pimpinan harus bertindak tutwuri handayani, ing madya mangun
karsa, dan ing ngarsa sung tuladha yaitu; mengikuti dari belakang
dan memberi pengaruh, berada di tengah memberi semangat, berada di depan
menjadi teladan.
Teori Trikon
sebagai rujukan pendidikan karakter
Selain
tripusat pendidikan Ki Hadjar Dewantara mengemukakan ajaran Trikon atau Teori
Trikon. Teori Trikon merupakan usaha pembinaan kebudayaan nasional yang
mengandung tiga unsur yaitu kontinuitas, konsentrisitas, dan konvergensi.
a. Dasar
Kontinuitas
Dasar kontinuitas
berarti bahwa budaya, kebudayaan atau garis hidup bangsa itu sifatnya continue,
bersambung tak putus-putus. Dengan perkembangan dan kemajuan kebudayaan, garis
hidup bangsa terus menerima pengaruh nilai-nilai baru, garis kemajuan suatu
bangsa ditarik terus. Bukan loncatan terputus-putus dari garis asalnya.
Loncatan putus-putus akan kehilangan pegangan. Kemajuan suatu bangsa ialah
lanjutan dari garis hidup asalnya, yang
ditarik terus dengan menerima nilai-nilai baru dari perkembangan sendiri maupun
dari luar. Jadi kontinuitas dapat diartikan bahwa dalam mengembangkan dan
membina karakter bangsa harus merupakan kelanjutan dari budaya sendiri.
b. Dasar
Konsentris
Dasar konsentris
berarti bahwa dalam mengembangkan kebudayaan harus bersikap terbuka, namun
kritis dan selektif terhadap pengaruh kebudayaan di sekitar kita. Hanya
unsur-unsur yang dapat memperkaya dan mempertinggi mutu kebudayaan saja yang
dapat diambil dan diterima, setelah dicerna dan disesuaikan dengan kepribadian
bangsa. Hal ini merekomendasikan bahwa pembentukan karakter harus berakar pada
budaya bangsa, meskipun tidak tertutup kemungkinan untuk mengakomodir budaya
luar yang baik dan selaras dengan budaya bangsa.
c. Dasar
Konvergensi
Dasar
konvergensi mempunyai arti bahwa dalam membina karakter bangsa, bersama-sama
bangsa lain diusahakan terbinanya karakter dunia sebagai kebudayaan kesatuan
umat sedunia (konvergen), tanpa mengorbankan kepribadian atau identitas bangsa
masing-masing. Kekhususan kebudayaan bangsa Indonesia tidak harus ditiadakan,
demi membangun kebudayaan dunia.
Dari pernyataan di
atas dapat diambil kesimpulan bahwa dalam mengembangkan karakter dan membina
kebudayaan bangsa harus merupakan kelanjutan dari budaya sendiri (kontinuitas)
menuju ke arah kesatuan kebudayaan dunia (konvergensi), dan tetap terus
memiliki dan membina sifat kepribadian di dalam lingkungan kemanusiaan sedunia
(konsentrisitas). Dengan demikian maka pengaruh terhadap kebudayaan yang
masuk, harus bersikap terbuka, disertai sikap selektif sehingga tidak
menghilangkan identitas sendiri.
Asas-asas dan
Dasar Pendidikan
Taman
Siswa yang didirikan Ki Hadjar Dewantara di Yogyakarta pada tanggal 3 Juli 1922
bertujuan mengganti sistem pendidikan dan pengajaran Belanda dengan sistem baru
berdasarkan kebudayaan sendiri. Untuk mewujudkan cita-citanya itu, maka
diterapkan asas-asas pendidikan dan dasar-dasar. Asas pendidikan ini dikenal
dengan asas 1922.
a. Pasal pertama: Hak seseorang akan mengatur dirinya sendiri dengan
mengingati tertibnya persatuan, dalam perikehidupan umum. Tertib dan damai
itulah tujuan kita yang tertinggi. Tidak akan ada ketertiban jika tidak ada
kedamaian. Sebaliknya tidak ada kedamaian selama orang dirintangi dalam
mengembangkan hidupnya yang wajar. Tumbuh menurut kodrat merupakan syarat
mutlak bagi pertumbuhan yang wajar, mengutamakan perkembangan diri menurut
kodratnya. Oleh karenanya Ki Hadjar Dewantara menolak faham pendidikan dalam
arti dengan sengaja membentuk watak anak melalui paksaan dan hukuman. Cara yang
demikian disebut “Sistem Among”
b. Pasal kedua: Dalam sistem ini maka pelajaran berarti mendidik anak
menjadi manusia yang merdeka batinnya, merdeka pikirannya, dan merdeka
tenaganya. Dengan demikian seorang guru atau pamong tidak hanya memberi
pengetahuan yang perlu dan baik saja, tetapi juga harus mendidik kepada siswa
untuk mencari sendiri pengetahuan itu dan memakainya untuk amal keperluan umum.
Hal ini menunjukkan bahwa ajaran Ki Hadjar Dewantara mengutamakan kemandirian
pada diri peserta didik, yang dengannya peserta didik akan memiliki karakter
mandiri
c. Pasal ketiga: tentang zaman yang akan datang, rakyat kita ada di dalam
kebingungan. Sering kita tertipu oleh keadaan, yang kita pandang perlu dan
laras untuk hidup kita, padahal itu adalah keperluan bangsa asing, yang sulit
didapatnya dengan alat penghidupan kita sendiri. Demikianlah acapkali kita
merusak sendiri kedamaian hidup kita. Lagi pula kita sering mementingkan
pengajaran menuju terlepasnya pikiran, padahal pengajaran itu membawa kita
kepada gelombang penghidupan yang tidak merdeka dan memisahkan orang-orang yang
terpelajar dengan rakyatnya. Dalam zaman kebingungan ini seharusnyalah keadaan
kita sendiri, kita pakai sebagai penunjuk jalan, untuk mencari penghidupan
baru, yang selaras dengan kodrat kita dan akan memberi kedamaian dalam hidup
kita. Pasal ini juga merupakan bagian penting dalam membangun karakter anak
bangsa untuk menjadi manusia yang tidak kehilangan jati diri sebagai bangsa
yang beradab
d. Pasal keempat:
Dasar kerakyatan. Pengajaran yang hanya terdapat pada sebagian kecil rakyat
Indonesia tidak berfaedah untuk bangsa, maka seharusnyalah golongan rakyat yang
terbesar mendapat pengajaran secukupnya. Hal ini mengandung pengertian, bahwa
memajukan pengajaran untuk rakyat umum atau kuantitas pendidikan lebih baik
daripada meninggikan pengajaran (kualitas) jikalau meninggikan pengajaran dapat
mengurangi tersebarnya pengajaran.
e. Pasal kelima: Untuk dapat berusaha menurut asas dengan bebas dan
leluasa, maka kita harus bekerja menurut kekuatan sendiri. Walaupun kita tidak
menolak bantuan dari orang lain, akan tetapi kalau bantuan itu akan mengurangi
kemerdekaan kita lahir atau batin haruslah ditolak. Ini adalah wujud nyata
karakter kemandirian.
f. Pasal keenam: Keharusan untuk membelanjai diri sendiri segala usaha
Taman Siswa. Usaha ini terkenal dengan “Zelbedruiping-systeem”. Hal
semacam ini amat sukar, karena untuk dapat membelanjai diri sendiri tanpa
menerima bantuan orang lain diperlukan keharusan untuk hidup sederhana. Ajaran
ini merekomendasikan kepada kita untuk hidup sederhana, atau dengan kata lain,
hidup sederhana sebagai bentuk karakter positif perlu terus ditradisikan
g. Pasal ketujuh:
Dengan tidak terikat lahir atau batin, serta kesucian hati, berminat kita
berdekatan dengan “Sang Anak”. Kita tidak meminta sesuatu hak, akan tetapi
menyerahkan diri untuk berhamba kepada “Sang Anak”. Dengan kata lain,
keikhlasan lahir dan batin untuk mengorbankan segala kepentingan kita kepada
selamat bahagianya anak didik.
Selain asas-asas
tersebut yang dicetuskan oleh Ki Hadjar Dewantara, Taman Siswa juga memiliki
dasar-dasar pendidikan sebagai lanjutan cita-cita Ki Hadjar Dewantara yaitu
terkenal dengan sebutan Panca Darma, yaitu:
a. Kodrat alam
b. Kemerdekaan
c. Kebudayaan
d. Kebangsaan
e. Kemanusiaan
(Muchamad Tauchid dan Ki Suratman, 1988: 16).
Kodrat alam
mengandung pengertian pada hakekatnya manusia sebagai makhluk tidak dapat
terlepas dari kehendak hukum kodrat alam. Manusia akan mengalami kebahagiaan
jika dapat menyatukan diri dengan kodrat alam yang mengandung segala hukum
kemajuan.
Dasar kemerdekaan
mengandung arti, kemerdekaan sebagai karunia Tuhan kepada semua makhluk manusia
yang memberikan kepadanya “hak untuk mengatur dirinya sendiri”, dengan selalu
mengingat syarat-syarat tertib damainya hidup bersama (masyarakat).
Dasar kebudayaan
mengandung pengertian, membawa kebudayaan kebangsaan itu kearah kemajuan dunia
dan kepentingan hidup rakyat, lahir dan batin.
Dasar kebangsaan
memiliki maksud, tidak boleh bertentangan dengan kemanusiaan, malahan harus
menjadi bentuk dan fitrah kemanusiaan yang nyata. Oleh karena itu tidak
mengandung arti permusuhan dengan bangsa lain, melainkan mengandung rasa satu
dengan bangsa sendiri, rasa satu dalam suka dan duka, rasa satu dalam kehendak
menuju kepada kebahagiaan hidup lahir serta batin seluruh bangsa.
Dasar kemanusiaan
mempunyai maksud bahwa darma tiap-tiap manusia itu adalah mewujudkan
kemanusiaan, yang berarti kemajuan manusia lahir dan batin yang
setinggi-tingginya yang dapat dilihat pada kesucian hati seseorang serta adanya
rasa cinta kasih terhadap sesama manusia dan terhadap makhluk Tuhan seluruhnya,
yang bersifat keyakinan adanya hukum kemajuan yang meliputi alam semesta.
Asas dan dasar
pendidikan yang digagas Ki Hadjar Dewantara merupakan landasan yang kokoh untuk
membangun karakter bangsa bersendi pada budaya bangsa dengan tidak mengabaikan
budaya asing. Jika asas dan dasar ini digunakan sebagai landasan penyelenggaran
pendidikan kita, maka tidak perlu lagi meributkan tentang carut marut potret
pendidikan kita.
Sistem
Pendidikan
Dalam pelaksanaan
pendidikan, Ki Hadjar Dewantara menggunakan “Sistem Among” sebagai perwujudan
konsepsi beliau dalam menempatkan anak sebagai sentral proses pendidikan. Dalam
Sistem Among, maka setiap pamong sebagai pemimpin dalam proses pendidikan
diwajibkan bersikap: Ing ngarsa sung tuladha, Ing madya mangun karsa,
dan Tutwuri handayani (MLPTS, 1992: 19-20).
a. Ing Ngarsa
Sung Tuladha
Ing ngarsa berarti
di depan, atau orang yang lebih berpengalaman dan atau lebih berpengatahuan.
Sedangkan tuladha berarti memberi contoh, memberi teladan (Ki Muchammad
Said Reksohadiprodjo, 1989: 47). Jadi ing ngarsa sung tuladha mengandung
makna, sebagai among atau pendidik adalah orang yang lebih berpengetahuan dan
berpengalaman, hendaknya mampu menjadi contoh yang baik atau dapat dijadikan
sebagai “central figure” bagi siswa.
b. Ing Madya
Mangun Karsa
Mangun karsa berarti
membina kehendak, kemauan dan hasrat untuk mengabdikan diri kepada kepentingan
umum, kepada cita-cita yang luhur. Sedangkan ing madya berarti di
tengah-tengah, yang berarti dalam pergaulan dan hubungannya sehari-hari secara
harmonis dan terbuka. Jadi ing madya mangun karsa mengandung makna bahwa
pamong atau pendidik sebagai pemimpin hendaknya mampu menumbuhkembangkan minat,
hasrat dan kemauan anak didik untuk dapat kreatif dan berkarya, guna
mengabdikan diri kepada cita-cita yang luhur dan ideal.
c. Tutwuri
Handayani
Tutwuri berarti
mengikuti dari belakang dengan penuh perhatian dan penuh tanggung jawab
berdasarkan cinta dan kasih sayang yang bebas dari pamrih dan jauh dari sifat authoritative,
possessive, protective dan permissive yang sewenang-wenang.
Sedangkan handayani berarti memberi kebebasan, kesempatan dengan
perhatian dan bimbingan yang memungkinkan anak didik atas inisiatif sendiri dan
pengalaman sendiri, supaya mereka berkembang menurut garis kodrat pribadinya.
Sistem
pendidikan yang dikemukakan Ki Hadjar Dewantara juga merupakan warisan luhur
yang patut diimplementasikan dalam perwujudan masyarakat yang berkarakter. Jika
para pendidik sadar bahwa keteladanan adalah upaya nyata dalam membentuk anak
bangsa yang berkarakter, semua kita tentu akan terus mengedepankan keteladanan
dalam segala perkataan dan perbuatan. Sebab dengan keteladanan itu maka
karakter religius, jujur, toleran, disiplin, kerja keras, cinta damai, peduli
sosial, dan karakter lain tentu akan berkembang dengan baik.
Begitu pula jika
kita sadar bahwa berkembangnya karakter peserta didik memerlukan dorongan dan
arahan pendidik, sebagai pendidik tentu kita akan terus berupaya menjadi
motivator yang baik. Sebab dengan dorongan dan arahan pendidik maka karakter
kreatif, mandiri, menghargi prestasi, dan pemberani peserta didik akan
terbentuk dengan baik.
Sementara
itu, ada kalanya pendidik perlu memberikan keleluasaan dan atau kebebasan
kepada peserta didik untuk menentukan pilihannya sendiri. Hal demikian
dimungkinkan dapat mengembangkan karakter demokratis dan bertangung jawab.
Corak dan Cara
Pendidikan
Corak
dan cara pendidikan menurut pandangan Ki Hadjar Dewantara patut kita jadikan
sebagai acuan dalam pengembangan pendidikan karakter. Corak pendidikan menurut
Ki Hadjar Dewantara haruslah bersifat nasional. Artinya secara nasional
pendidikan harus memiliki corak yang sama dengan tidak mengabaikan budaya
lokal. Bangsa Indonesia yang terdiri dari banyak suku, ras, dan agama hendaknya
memiliki kesamaan corak dalam mengembangkan karakter anak bangsanya. Hal ini
penting untuk menghindari terjadinya konflik fisik sebagai akibat banyaknya
perbedaan.
Pemikiran
pendidikan Ki Hadjar Dewantara bercorak nasional pada awalnya muncul dalam
rangka mengubah sistem pendidikan kolonial menjadi sistem pendidikan nasional
yang berdasarkan pada kebudayaan sendiri. Pendidikan yang dicita-citakan oleh
Ki Hadjar Dewantara adalah Pendidikan Nasional. Hal ini diinsyafi benar oleh Ki
Hadjar Dewantara, bahwa perjuangan kemerdekaan bangsa harus didasari jiwa
merdeka dan jiwa nasional dari bangsa itu. Hanya orang-orang yang berjiwa
merdeka saja yang sanggup berjuang menuntut dan selanjutnya mempertahankan
kemerdekaan. Syaratnya ialah Pendidikan Nasional, dan pendidikan merdeka pada
anak-anak yang akan dapat memberi bekal kuat untuk membangun karakter bangsa.
Cara
mendidik menurut Ki Hadjar Dewantara disebutnya sebagai “peralatan pendidikan”.
Menurut Ki Hadjar Dewantara cara mendidik itu amat banyak, tetapi terdapat
beberapa cara yang patut diperhatikan, yaitu
a. Memberi contoh (voorbeelt)
b. Pembiasaan (pakulinan, gewoontevorming)
c. Pengajaran (wulang-wuruk)
d. Laku (zelfbeheersching)
e. Pengalaman
lahir dan batin (nglakoni, ngrasa) (Ki Hadjar Dewantara dalam Majelis
Luhur Persatuan Tamansiswa, 1977: 28).
Cara
pendidikan yang disebutkan di atas sangatlah tepat untuk membangun karakter
anak bangsa. Pemberian contoh yang disertai dengan pembiasaan sangatlah tepat
untuk menanamkan karakter pada peserta didik. Begitu juga pengajaran (wulang-wuruk)
yang disertai contoh tindakan (laku) akan mempermudah peserta didik dalam
menginternalisasi nilai-nilai positif, sebagai bentuk perwujudan karakter.
Apalagi disempurnakan dengan pengalaman lahir dan batin maka menjadi
sempurnalah karakter peserta didik.
Kesimpulan
Berdasarkan
uraian di atas tentang pandangan dan konsep pendidikan menurut Ki Hadjar
Dewantara, kaitannya dengan pendidikan karakter yang seharusnya dibangun dapat
dideskripsikan sebagai berikut;
1. Nilai-nilai yang perlu diinternalisasikan kepada peserta didik dalam
pengembangan karakter adalah: religius, jujur, toleran, disiplin, kerja
keras, kerja cerdas, kreatif, mandiri, demokratis, rasa ingin tahu, semangat
kebangsaan, cinta tanah air, menghargai prestasi, bersahabat/komunikatif, cinta
damai, senang membaca, peduli sosial, peduli lingkungan, dan tanggung
jawab.
2. Penyelenggaraan pendidikan jangan terjebak pada pencapaian target
sempit, yang hanya melakukan transfer of knowledge melainkan perlu
dengan sengaja (by design) mengupayakan terjadinya transformasi nilai
untuk pembentukan karakter anak bangsa.
3. Pembentukan karakter peserta didik perlu melibatkan tri pusat
pendidikan (keluarga, sekolah, dan masyarakat) secara sinergis
4. Pengembangan karakter peserta didik perlu memperhatikan perkembangan
budaya bangsa sebagai sebuah kontinuitas menuju ke arah kesatuan
kebudayaan dunia (konvergensi), dan tetap memiliki sifat kepribadian di
dalam lingkungan kemanusiaan sedunia (konsentris).
5. Asas dan dasar pendidikan yang digagas Ki Hadjar Dewantara merupakan
landasan dasar yang kokoh untuk membangun karakter bangsa, bersendi pada budaya
bangsa dengan tidak mengabaikan budaya asing.
6. Sistem pendidikan yang dikemukakan Ki Hadjar Dewantara (ing ngarsa
sung tuladha, ing madya mangun karsa, dan tut wuru handayani) adalah
wasiat luhur yang patut diterapkan dalam mengembangkan karakter peserta didik.
7. Corak dan cara
pendidikan menurut pandangan Ki Hadjar Dewantara patut kita jadikan sebagai
acuan dalam pengembangan pendidikan karakter. Pendidikan
karakter harus
bercorak nasional dengan menerapkan cara-cara; pemberian contoh, pembiasaan, wulang-wuruk,
laku, dan pengalaman lahir-batin.
Sumber
http://staff.uny.ac.id/sites/default/files/131656343/PENDIDIKAN%20KARAKTER%20MENURUT%20KI%20HAJAR%20DEWANTORO.pdf
(di akses pada hari senin, 12 Oktober 2015, pukul 08.28 WITA).
Ki Gunawan. Aktualisasi
konsep pendidikan Ki Hadjar Dewantara dalam sistem pendidikan nasional
Indonesia di Gerbang XXI, dalam Ki hadjar Dewantara dalam pandangan para
cantrik dan mantriknya. Yogyakarta: MLPTS. 1989.
0 komentar:
Posting Komentar